Jumat, 01 Agustus 2008

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Influenza

A. Pengertian

Influenza adalah : Suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam, menggigil sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorokan dan batuk nonproduktif.

B. Etiologi.

Penyebab dari influenza adalah virus influenza. Ada tiga tipe yakni tipe A, B dan C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemik. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemik. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenesisnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus penyebab influenza merupakan suatu orthomyxovirus golongan RNA. Struktur antigenik virus influenza meliputi antara lain 3 bagian utama yaitu : Antigen S (soluble Antigen), hemaglutinin dan Neuramidase. Antigen S merupakan suatu inti partikel virus yang terdiri atas ribonuldeoprotein. Antigen ini spesifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin dan neuramidase berbentuk seperti duri dan tampak menonjol pada permukaan virus. Hemaglutinin diperlukan untuk lekatnya virus pada membran sel penjamu sedangkan neuromidase diperlukan untuk pelepasan virus dari sel yang terinfeksi.

C. Patofisiologi

Virus influenza A, B dan C masing-masing dengan banyak sifat mutagenik yang mana virus tersebut dihirup lewat droplet mukus yang terarolisis dari orang-orang yang terinfeksi. Virus ini menumpuk dan menembus permukaan mukosa sel pada saluran napas bagian atas, menghasilkan sel lisis dan kerusakan epithelium silia. Neuramidase mengurangi sifat kental mukosa sehingga memudahkan penyebaran eksudat yang mengandung virus pada saluran napas bagian bawah. Di suatu peradangan dan nekrosis bronchiolar dan epithelium alveolar mengisi alveoli dan exudat yang berisi leukosit, erithrosit dan membran hyaline. Hal ini sulit untuk mengontrol influenza sebab permukaan sel antigen virus memiliki kemampuan untuk berubah. Imunitas terhadap virus influenza A dimediasi oleh tipe spesifik immunoglobin A (lg A) dalam sekresi nasal. Sirkulasi lg G juga secara efektif untuk menetralkan virus. Stimulus lg G adalah dasar imunisasi dengan vaksin influenza A yang tidak aktif.

Setelah nekrosis dan desquamasi terjadi regenerasi epithelium secara perlahan mulai setelah sakit hari kelima. Regenerasi mencapai suatu maximum kedalam 9 sampai 15 hari, pada saat produksi mukus dan celia mulai tamapk. Sebelum regenerasi lengkap epithelium cenderung terhadap invasi bakterial sekunder yang berakibat pada pneumonia bakterial yang disebabkan oleh staphiloccocus Aureus.

Penyakit pada umumnya sembuh sendiri. Gejala akut biasanya 2 sampai 7 hari diikuti oleh periode penyembuhan kira-kira seminggu. Penyakit ini penting karena sifatnya epidemik dan pandemik dan karena angka kematian tinggi bersama sekunder. Resiko tinggi pada orang tua dan orang yang berpenyakit kronik.

D. Manifestasi klinik.

Pada umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, batu, pilek dan kadang-kadang sakit pada waktui menelan dan suara serak. Gejala-gejala ini dapat didahului oleh peraasaan malas dan rasa dingin.

E. Komplikasi.

  • Viral pneumonia primer
Ditandai dengan dyspnea, cyanosis, hemoptysis
  • Bacterial pneumonia sekunder
Ditandai dengan : dyspnea, cyanosis, hemoptysis dan sputum berdarah.

RANTAI KEJADIAN DALAM PENYEBARAN INFLUENZA

Kejadian


Agent Etiologi

Reservoir


Transmisi

Periode inkubasi

Periode kommunicabilitas

Kelemahan dan resisten


Lapor pada dinas kesehatan setempat

Menyebar dalam pandemik, epidemik, penyakit menular setempat dan kasus-kasus sporadik ; tinggi pada musim dingin pada zona temperatur.

Tiga tipe virus (A, B dan C) masing-masing dengan sifat turunan.

Manusia ; beberapa mamalia dicurigai sebagai sumber sifat-sifat turunan virus.

Transmisi langsung oleh inhalasi virus dalam nukus kotor yang berterbangan.

24-27 jam.

3 hari dari symptom onset/serangan.

Universal : infeksi menghasilkan imunitas terhadap suatu sifat turunan spesifik virus, tetapi durasi imunitas tergantung pada simpanan antigenic pada sifat turunan.

Laporan kasus-kasus mandatory/yang diperintahkan.

F. Penularan.

Penularan influenza secara alami berasal dari percikan ludah saat bersin atau batuk. Penyebaran dapat pula berasal dari kontak langsung dan kontak tak langsung.

Virus influenza B menyebar dalam waktu 1 hari sebelum gejala timbul tetapi pada kasus influenza A baru tampak setelah 6 hari.penyebaran virus influenza pada anak berlangsung selama kurang dari 1 minggu pada influenza A dan sampai 2 minggu pada infeksi influenza B. masa inkubasi influenza berkisar dari 1 sampai 7 hari tetapi umumnya berlangsung 2 sampai 3 hari.

G. Pencegahan

Yang paling pokok dalam menghadapi influenza adalah pencegahan. Infeksi dengan virus influenza akan memberian kekebalan terhadap reinfeksi dengan virus yang homolog. Karena sering terjadi perubahan akibat mutasi gen, antigen pada virus influenza akan berubah, sehingga seorang msih mungkin diserang berulang kali dengan galur (stain) virus influenza yang telah mengalami perubahan ini.

Kekebalan yang diperoleh melalui vaksinasi terdapat pada sekitar 70%. Vaksinasi perlu diberikan 3 sampai 4 minggu sebelum terserang influenza. Karena terjadi perubahan-perubahan pada virus maka pada permulaan wabah influenza biasanya hanya tersedia vaksin dalam jumlah terbatas dan vaksin direkomendasikan untuk kelompok tertentu yang mempunyai resiko meningkatnya komplikasi influenza : mereka yang berusia lebih dari 65 tahun, mereka dengan penyakit yang kronik seperti kardiovaskuler, diabetes melitus, immunosupresi atau disfungsi ginjal, anemia berat dan pilmonal. Mereka ini dianjurkan untuk diberikan vaksin setiap tahun menjelang musim dingin atau musim hujan. Bagi pasien yang sedang menderita demam akut sebaiknya ditunda pemberian vaksin sampai keadaan membaik.

H. Studi diagnostik

Test Diagnostik

Penemuan

Tes Laboratorium
Kultur jaringan nasal atau sekret pharyngeal.

Positif untuk virus infuenza

Kultur sputum.

Positif untuk bakteri pada infeksi sekunder

Fluorescent antibody yang mengotori sekret.

Positif untuk virus infuen

Hemagglutination inhibition or complement fixation test


Meningkat 4 x pada antibody antara tahap akut dan pemulihan.

Urinalysis

Albuminuria

Kecepatan sedimentasi meninggi

Erythrosit

Jumlah WBC

Leukopenia (< 5000 mm3) atau leukositosis (11.000-15.000 mm3).

Hemoglobin

Meningkat

Hematocrit

Meningkat

I. Therapy obat

Antipyretic : ASA 600 mg secara oral, 4 jam bagi dewasa; acetaminophen bagi anak-anak.

Agent adrenergic : Phenylephrine (Neo-Synephrine), 0,25%, 2 tetes pada tiap-tiap nostril bagi kongesti nasal.

Agent antitussive : Terpin hydrat dengan codeine, 5-10 ml PO q 3-4 jam untuk dewasa apabila batuk.

Agent antiinfektif : Amantadine 100 mg PO atau untuk durasi epidemic (3-6 minggu) untuk orang-orang beresiko tinggi berumur diatas 9 tahun bisa juga diberikan kepada orang-orang berumur diatas 65 tahun tetapi takaran dikurangi untuk orang dengan gagal fungsi.

Imunisasi aktif : Vaccine, 0,5ml IM untuk dewasa; 0,25 ml untuk bayi 6-35 bulan; 0,5 ml IM untuk anak-anak 3-12 tahun; untuk bayi dan anak-anak berikan 2 dosis pada interval 4 minggu. Vaksin ini harus diulangi secara tahunan pada individu-individu yang sudah tua, orang-orang dewasa yang sakit kronis, anak-anak dengan jantung kronis atau penyakit pulmonary, perawatan rumah penduduk dan fasilitas-fasilitas pelayanan kronis, dan penyediaan pelayanan kesehatan dengan mengontak pasien-pasien beresiko tinggi.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Kepala dan leher

Observasi :

§ Memungkinkan adanya konjungtivitis.

§ Wajah memerah

§ Kemungkinan adanya lymphadenopathy cervival anterior

§ Sakit kepala, photophobia dan sakit retrobulbar

b. Pernapasan

Observasi :

Mulanya ringan : sakit tenggorokan; substernal panas; batuk nonproduktif; coryza.

Kemudian : batuk keras dan produktif; erythema pada langit-langit yang lunak, langit-langit yang keras bagian belakang, hulu kerongkongan/tekak bagian belakang, peningkatkan RR, rhonchi dan crackles.

c. Abdominal

Observasi : Anorexia dan malaise (rasa tidak enal badan).

d. Neurologi

Observasi : Myalgia khususnya pada punggung dan kaki.

e. Suhu tubuh

Observasi : Tiba-tiba serangan demam (380 hingga 390C <>0 hingga 1030F) yang secara bertahap turun dan naik lagi pada hari ketiga.

2. Diagnosa

1) Inefektif perubahan jalan napas b.d obstruksi brhonchial

Data Subyektif :

Data Obyektif : Rhonchi, crackles (rales), tachypnea, batuk (mulanya non-produktif, kemudian produktif), demam.

2) Kurang volume cairan b.d hyperthermia dan intake yang inadekuat.

Data Subyektif : Keluhan-keluhan haus dan anorexia

Data Obyektif : Hyperthemia (380-390C; 1020-1030F), wajah memerah; panas, kulit kering; mukosa membran dan lidah kering; menurunnya output urine b.d kehilangan berat badan

3) Intoleransi terhadap aktivitas b.d adanya kelemahan.

Data Subyektif : Keluhan myalgia, kelelahan, sakit kepala dan photophobia

Data Obyektif : Menurunnya tingkat aktivitas

4) Hyperthermia b.d proses inflamatory

Data Subyektif : Keluhan rasa panas.

Data Obyektif : Meningkatnya suhu tubuh (380-390C; 1020-1030F) kulit kering dan panas.

3. Perencanaan

Tujuan-tujuan pasien

a. Jalan udara pasien akan menjadi tetap dengan bunyi napas jelas.

b. Volume cairan pasien akan menjadi adekuat.

c. Pasien akan mampu untuk melakukan aktivitas harian tanpa kelemahan.

d. Suhu tubuh pasien akan berada dalam batas normal.

4. Implementasi

a. Inefektif perubahan jalan napas b.d obstruksi brhonchial.

Intervensi :

ô Auskultasi paru-paru untuk rhonchi dan crackles

R/ Menentukan kecukupan pertukaran gas dan luasan jalan napas terhalangi oleh sekret.

ô Kaji karakteristik sekret : kuantitas, warna, konsistensi, bau.

R/ Adanya infeksi yang dicurigai ketika sekret tebal, kuning atau berbau busuk.

ô Kaji status hidrasi pasien: turgor kulit, mukosa membran, lidah, intake dan output selama 24 jam, hematocrit.

R/ Menentukan kebutuhan cairan. Cairan dibutuhkan jika turgor kulit jelek. Mukosa membran lidah dan kering, intake< output, hematocrit tinggi.

ô Bantu pasien dengan membatuk bila perlu.

R/ Membatuk mengeluarkan sekret.

ô Posisi pasien berada pada body aligment yang benar untuk pola napas optimal (kepala tempat tidur 450, jika ditoleransi 900).

R/ Sekresi bergerak oleh gravitasi selagi posisi berubah. Meninggikan kepala tempat tidur menggerakan isi abdominal menjauhi diaphragma untuk meningkatkan kontraksi diaphragmatis.

ô Menjaga lingkungan bebas allergen (misal debu, bulu unggas, asap) menurut kebutuhan individu.

R/ Sekresi bergerak oleh gravitasi selagi posisi berubah. Meninggikan kepala tempat tidur menggerakan isi abdominal menjauhi diaphragma untuk meningkatkan kontraksi diaphragmatis.

ô Tingkatkan kelembaban ruangan dengan dingin ringan.

R/ Melembabkan dan menipiskan sekret guna memudahkan pengeluarannya.

ô Berikan decongestans (NeoSynephrine) seperti pesanan.

R/ Memudahkan pernapasan melalui hidung dan cegah kekeringan membran mukosa oral.

ô Mendorong meningkatkan intake cairan dari 1 ½ sampai 2 l/hari kecuali kontradiksi.

R/ Mencairkan sekret sehingga lebih mudah dikeluarkan.

b. Kurang volume cairan b.d hyperthermia dan intake yang inadekuat.

Intervensi :

ô Timbang pasien

R/ Periksa tambahan atau kehilangan cairan.

ô Mengukur intake dan output cairan.

R/ Menetapkan data keseimbangan cairan.

ô Kaji turgor kulit.

R/ Kulit tetap baik berkaitan dengan inadekuat cairan interstitial.

ô Observasi konsistensi sputum.

R/ Sputum tebal menunjukkan kebutuhan cairan.

ô Observasi konsentrasi urine.

R/ Urine terkonsentrasi mungkin menunjukkan kekurangan cairan.

ô Monitor hemoglobin dan hematocrit.

R/ Peninggian mungkin menunjukkan hemokonsentrasi tepatnya kekurangan cairan.

ô Observasi lidah dan mukosa membran.

R/ Kekeringan menunjukkan kekurangan cairan.

ô Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk mencegah kekurangan cairan.

R/ Mencegah kambuh dan melibatkan pasien dalam perawatan.

c. Intoleransi terhadap aktivitas b.d adanya kelemahan.

Intervensi :

ô Observasi respon terhadap aktivitas.

R/ Menentukan luasan toleransi.

ô Identifikasi faktor-faktor yang mendukung aktivitas intoleransi, misal demam, efek samping obat.

R/ Menghilangkan faktor-faktor kontribusi mungkin memecahkan aktivitas intoleran.

ô Kaji pola tidur pasien.

R/ Kurang tidur kontribusi terhadap kelemahan.

ô Periode rencana istirahat antara aktivitas.

R/ Mengurangi kelelahan.

ô Lakukan aktivitas bagi pasien hingga pasien mampu melakukannya.

R/ Penuhi kebutuhan pasien tanpa menyebabkan kelelahan.

d. Hyperthermia b.d proses inflamatory.

Intervensi :

ô Ukur temperatur tubuh.

R/ Menunjukkan adanya demam dan luasannya.

ô Kaji temperatur kulit dan warna.

R/ Hangat, kering, kulit memerah menunjukkan suatu demam.

ô Monitor jumlah WBC.

R/ Indikasi leukopenia dibutuhkan untuk melindungi pasien dari infeksi tambahan. Leukocytosis menujukkan suatu inflamatory atau adanya proses infeksi.

ô Ukur intake dan output.

R/ Tentukan keseimbangan cairan dan perlu meningkatkan intake.

ô Berikan antipiyretic seperti dipesan.

R/ Kurangi demam melalui tindakan pada hypothalmus.

ô Tingkatkan sirkulasi udara dalam ruangan dengan fan.

R/ Memudahkan kehilangan panas oleh konveksi

ô Berikan sebuah permandian dengan spon hangat/suam-suam.

R/ Memudahkan kehilangan panas oleh evaporasi.

ô Kenakan sebuah kantong es yang ditutup dengan sebuah handuk pada axilla atau selangkang.

R/ Memudahkan kehilangan panas oleh konduksi.

ô Selimuti pasien hanya dengan seperei.

R/ Mencegah kedinginan; mengigil akan meningkatkan lebih lanjut kecepatan metabolis.

5. Evaluasi

Hasil Pasien

Data Yang Menunjukkan Bahwa Hasil Dicapai

Jalan napas patent

Jalan napas bersih dan pernapasan berlangsung tanpa hambatan. Tidak ada batuk. Bunyi napas jelas.

Volume cairan berada dalam batas-batas normal.

Intake cairanmeningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab. Hemoglobin = 15,5 ± 1,1 g/dl untuk pria. 13,7 ± 1,0 g/dl untuk wanita. Hematocrit = 42%-50% untuk pria, 35%-47% untuk wanita. Output urine normal dengan konsentrasi normal. Tidak ada albuminuria.

Aktivitas dilakukan tanpa kelelahan atau ketidaknyaman.

Pasien menunjukkan kemampuan untuk melakukan aktivitas harian tanpa kelelahan atau ketidaknyamanan. Tenaga pulih.

Suhu badan dalam batas normal.

Suhu tubuh normal 380C (98,60F).

6. Pendidikan Pasien.

1. Mendorong pasien untuk mempertahankan bed rest selama 2-3 hari setelah suhu kembali normal.

2. Ajari pentingnya minum paling kurangnya sehari 2/4 cairan guna meneruskan sekret mudah dikeluarkan.

3. Instruksikan pasien untuk memberitahukan dokter tentang gejala-gejala infeksi tahap kedua, termasuk sakit telinga, purulent atau sputum berdarah, sakit dada atau demam.

4. Beri informasi tentang obat yang diresepkan seperti nama, dosis, tindakan, frekuensi pemakaian dan efek samping.

5. Mendorong orang-orang beresiko tinggi untuk mendapatkan vaksin influenza sebelum musim flu mulai.



DAFTAR PUSTAKA

Wilson F. Susan, dkk, (1990) “Respiratory Disorders” by Mosby-Year Book. Inc.

Grimes E. Deanne, dkk, (1990) “Infectious Diseases” Clinical Nursing Series by Mosby-Year Book. Inc

Noer Sjaifoellah, (1996) “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam“ Jilid I, Edisi 3, Jakarta.

Selasa, 29 Juli 2008

Luka Bakar

A. Pengertian

Luka bakar merupakan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh panas cairan, api, uap, bahan kimia, listrik, radiasi matahari dan gesekan atau friksi.

B. Pathofisiologi

Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka bakar kimiawi.

Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.

C. Klasifikasi Luka Bakar

1. Menurut Kedalaman atau Karakteristik Luka Bakar

Karakteristik luka bakar dari Smeltzer dan Bare Brunner and Suddarth’s Medical Surgical Nursing, Ed. 8, Philadelphia 1997, Lippincott

Kedalaman


Jaringan yang terluka

Penyebab yang lazim

Karakterisitik

Nyeri

Penyembuhan

Ketebalan superfisial (derajat I)

Ketebalan parsial superfisial (derajat IIA)

Ketebalan parsial dermal (dalam derajat II B)

Ketebalan penuh (derajat III)


Kerusakan epitel minimal

Epidermis dan dermis minimal

Keseluruhan epidermis sebagian dermos)

Semua yang diatas dan bagian lemak subkutan.

Dapat mengenai jaringan ikat otot, tulang.

Sinar matahari

Kulit dan cairan hangat

Benda panas, nyala api, cedera radiasi

Nyala api yang berkepanjang listrik, kimia dan uap panas.

Kering, tidak ada lepuh, merah pink, memutih dengan tekanan

Basah, pink atau merah, lepuh sebagian memutih

kering pucat, berlilin, tidak memutih.

Kulit terkelupas, avaskuler,pucat, kuning sampai coklat.

Nyeri

Nyeri, hiperestik

Sensitif terhadap tekanan

Sedikit nyeri

Sekitar 5 hari

Sekitar 21 hari, jaringan parut minimal

Berkepanjangan membentuk jaringan hipertrotik, pembentukan kontraktur.

Tidak dapat beregenerasi sendiri membutuhkan tandur kulit.

2. Menurut Lokasi Luka Bakar

Luka bakar pada kepala, dada dan leher seringkali mempunyai kaitan dengan komplikasi pulmonal.

Luka bakar yang mengenai wajah sering yang menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar pada telinga membuat mudah terserang kondritis, aurikular dan rentang terhadap infeksi serta kehilangan jaringan lebih lanjut.

Luka bakar pada tangan dan persendian sering membutuhkan terapi fisik dan okupasi yang lama dan memberikan dampak pada waktu bekerja dan atau kecatatan fisik menetap serta kehilangan pekerjaan.

Luka bakar pada area perineal membuat mudah terserang infeksi akibat autokontaminasi oleh urine dan faeces.

Luka bakar sirkumferensial extremitas dapat menyebabkan efek seperti penebalan pembuluh darah dan mengarah pada gangguan vaskular distal.

Luka bakar sirkumferensial thoraks dapat mengarah pada inadekuat ekspansi dinding dada dan insufisiensi pulmonal.

3. Menurut ukuran atau luas luka bakar

Dengan menggunakan metode rules of nine untuk menentukan presentase luas permukaan tubuh yang mengalami cedera luka bakar.

³ Kepala : 9%

³ Extremitas atas kanan : 9%

³ Extremitas atas kiri : 9%

³ Torso (dada sampai perut dan punggung

sampai pinggang) : 36%

³ Perineum : 1%

³ Extremitas bawah kanan : 18%

³ Extremitas bawah kiri : 18%

Total : 100%

Berikut ini diagram Lund and Browder, metode yang digunakan untuk menghitung LPT luka bakar sesuai dengan golongan usia.


Lahir

1 tahun

5 tahun

10 tahun

15 tahun

Dewasa

A. Setengah kepala

9½ %

8½ %

6½ %

5½ %

4½ %

3½ %

B. Setengah paha

2¾ %

3¼ %

4%

4¼ %

4½ %

4¾ %

C. Setengah tungkai bawah

%

2½ %

2¾ %

3%

3¼ %

3½ %

D. Komplikasi Lanjut Luka Bakar

1. Hipertrofi Jaringan Parut

Hipertrofi jaringan parut merupakan komplikasi kulit yang biasa dialami pasien dengan luka bakar yang sulit dicegah, akan tetapi masih bisa diatasi dengan tindakan tertentu terbentuknya hipertrofi jaringan parut pada pasien luka bakar dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :

a. Kedalaman luka bakar

b. Sifat kulit

c. Usia pasien

d. Lamanya waktu penutupan kulit

e. Penanduran kulit.

2. Kontraktur

Kontraktur adalah komplikasi yang hampir selalu menyertai luka bakar dan menimbulkan gangguan fungsi pergerakan.

Beberapa tindakan yang dapat mencegah atau mengurangi komplikasi kontraktur adalah :

³ Pemberian posisi yang baik dan benar sejak awal.

³ Ambulasi yang dilakukan 2-3 kali/hari sesegera mungkin (perhatikan jika ada fraktur) pada pasien yang terpasang berbagai alat invasif (misalnya, IV, NGT, monitor EKG, dll) perlu dipersiapkan dan dibantu (ambulasil pasif).

³ Pressure grament adalah pakaian yang dapat memberikan tekanan yang bertujuan menekan timbulnya hipertrosi scar, dimana penggunaan presure grament ini dapat menghambat mobilitas dan mendukung terjadinya kontraktur.

E. Penatalaksanaan

1. Pentalaksanaan luka bakar

Faktor-faktor yang mendukung penyembuhan luka bakar yaitu :

§ Sikap mental yang positif

§ Kesehatan menyeluruh yang baik

§ Keseimbangan istirahat dan latihan

§ Pengetahuan perawat dan pasien

§ Usia (muda)

§ Kontrol nyeri

§ Penatalaksanaan luka yang tepat

§ Nutrisi yang adekuat

§ Tidak ada inkontenensia

§ Kontrol infeksi

§ Balutan yang sesuai

§ Jaringan parut post luka bakar gatal dengan baik.

Faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka bakar

§ Faktor psikologi takut, stress

§ Kesehatan secara umum tidak baik

§ Kurang mobilisasi

§ Kondisi langsung

§ Usia (tua)

§ Penanganan luka kurang tepat

§ Obat-obat tertentu seperti oksitoksik steroid

§ Sirkulasi kurang baik

§ Pemakaian alkohol dan rokok yang berlebihan

§ Nutrisi kurang baik

§ Hygiene kurang baik

2. Rumus pemberian terapi cairan menurut formula Parland

Cairan Ringer Lactat (RL) 4 ml/kg BB% LB pada 24 jam pertama

Keterangan :

Pada 8 jam I diberikan ½ dari kebutuhan cairan

Pada 8 jam II diberikan ¼ dari kebutuhan cairan

Pada 8 jam III diberikan sisanya.

Contoh :

BB pasien 50 kg, luka bakar : 40% maka kebutuhan cairan pasien adalah 4 x 50 x 40 = 800 ml diberikan dengan pembagian :

1. 8 jam I diberikan 4000 ml

2. 8 jam II diberikan 2000 ml

3. 8 jam III diberikan 2000 ml

Gambaran skematis pemberiannya adalah :

24.00

16.00

08.00

4000 2000 2000

Pukul 08.00

3. Penatalaksanaan pemberian cairan 24 jam pertama

§ Timbang BB pasien, perkirakan luas luka bakar dan mulai pasang infus.

§ Hitung cairan menggunakan 2 ml/kg BB/% luka bakar.

§ Pantau haluaran urine, bila urine 30 cc/jam kurangi kecepatan cairan sampai 10-20% lalu tunggu 1 jam. Bila urine tidak sampai 30 cc/jam tingkatkan kecepatan cairan sampai 10-20% lalu tunggu 1 jam. Bila setelah 1 jam haluaran urine mencapai 30 cc/jam tingkatkan lagi kecepatan cairan 10-20% lalu tunggu lagi selama 1 jam. Bila setelah itu haluaran urine telah menetap tambahkan koloid 5% ke dalam cairan dan tunggu 1 jam lagi bila haluaran urine tetap rendah dan frekuensi 6 ml/kg BB/%/24 jam maka pasang kateter Swan glans dan tangani sesuai parameter tindakan. Bila tidak, kembali pada tindakan awal bila haluaran urine tidak sampai 30 cc/jam.

ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian

1. Riwayat Keperawatan

Waktu dan tempat : tanyakan pukul berapa terjadi luka bakar, di rumah atau di tempat kerja, faktor predisposisi, sumber panas/agen, lamanya dan temperatur agen.

Tanyakan pula situasi saat kejadian seperti ruangan dalam keadaan terbuka atau tertutup, gambaran rinci kejadian luka bakar, karena kecelakaan/kelalaian atau kejadian yang disengaja, penyebab diri sendiri atau orang lain atau adanya pengaruh penggunaan obat atau alkohol.

2. Data Subyektif

³ Usia korban

³ Riwayat kesehatan

§ Penyakit yang pernah diderita.

§ Imunisasi yang pernah didapat.

³ Apakah ada cedera yang bersamaan dengan luka bakar

³ Nyeri pada daerah luka

3. Data Obyektif

§ Prosentase luas permukaan tubuh yang terbakar.

§ Kedalaman luka bakar

§ Letak anatomis luka bakar

§ Kulit tampak kemerahan, gelembung, edema

§ Suhu tubuh bervariasi

§ Takikardia.

4. Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium

Nilai Normal

Perubahan Luka Bakar

Penyebab

Pemeriksaan Serum

Hemoglobin

Hematokrit

Nitrogen urea

Glukosa

Elektrolit

Natrium

Kalium

Klorida

Analisa Gas Darah

PO2

PCO2

PH

Karboskihemaglobin

Protein total

Albumin

12-15 g/dl (P)

14-16 g/dl (L)

37-45% (P)

45-50% (L)

5-15 mg/dl

60-100 mg/dl

136-145 mEq/L

3,5-5,0 mEq/L

96-106 mEq/L

80-100 mm/Hg

32-45 mm/Hg

7,34-7,45

0

6,0-8,0 g/dl

3,5-50 g/dl

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Meningkat

Normal

Rendah

Meningkat

Rendah

Rendah

Kehilangan volume cairan

Kehilangan volume cairan

Kehilangan volume cairan

Respon stress

Kehilangan volume cairan dan gangguan Na-K

Gangguan pompa Na-K kerusakan jaringan, hemolisis sel darah merah.

Kehilangan volume cairan dan reabsorbsi Ci dalam urine.

Asidosis metabolik

Inhalasi asap rokok dan karbomonoksida.

Kehilangan protein yang keluar melalui luka

Kehilangan protein melalui luka dan membran vaskular karena peningkatan permeabilitas.

Sumber : Ignatavicus O dan Bayn Marlyn, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach. Penerbit WB Saunders : Philadelphia, 1991.

b. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi kekurangan volume cairan elektrolit b.d rusaknya jaringan kulit akibat luka bakar.

2. Gangguan pertukaran gas b.d keracunan karbonmonoksida, asap, panas yang mengakibatkan kerusakan paru.

3. Inefektif bersihan jalan napas b.d edema trakheal, pelepasan jalan napas dan depresi siliaris pulmonal akibat cedera inhalasi.

4. Kerusakan integritas kulit b.d luka bakar.

5. Hipotermi b.d kerusakan jaringan epitel dan fluktuasi suhu udara sekitarnya.

6. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang kurang dan peningkatan metabolik untuk penyembuhan luka.

7. Gangguan rasa nyaman ; nyeri b.d cedera luka bakar, pengobatan dan kerusakan jaringan.

8. Resiko tinggi infeksi b.d kerusakan barrier kulit.

9. Resiko tinggi kontraktur b.d immobilitas akibat nyeri, bengkak.

10. Resiko tinggi terjadi perluasan luka bakar b.d immobilisasi.

11. Kecemasan b.d penyakit dan hospitalisasi yang lama.

12. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah b.d kurang informasi.

c. Perencanaan.

Diagnosa I.

Goal : Pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan tubuh selama perawatan dan tidak ada tanda-tanda dehidrasi.

Intervensi :

1. Kaji dan catat luas dan kedalaman luka bakar

2. Kaji dan catat turgor kulit.

3. Pantau dan catat TTV setiap 2 jam

4. Pantau dan catat balance cairan tiap 2 jam

5. Motivasi klien untuk banyak minum.

6. Siapkan minuman yang banyak dekat pasien

7. Dapatkan BB masiuk dan timbang BB setiap hari bila memungkinkan

8. Beri pengganti cairan IV dan dekat pasien

9. Monitor hasil elektrolit serum dan hematokrit.

Evaluasi :

Dengan resusitasi cairan yang adekuat keseimbangan cairan diperkirakan tercapai dalam waktu 24-46 jam dengan ditandai :

§ Turgor kulit kenyal dan elastis

§ TTV dalam batas normal.

§ Tidak terjadi sianosis

§ Pasien tenang dan tidak gelisah

§ Intake-ouput seimbang (produksi urine > 30cc/menit)

§ Laboratorium dalam batas normal (HT darah normal 37-40%).

Diagnosa II.

Goal : Pemeliharaan oksigenasi jaringan adekuat

Intervensi :

1. Kaji pola pernapasan pasien tiap2-3 jam (tanda-tanda gawt napas, bunyi, frekuensi, irama, kedalaman napas).

2. Pantau pasien terhadap hipoksemia

3. Baringkan pasien dalam posisi Fowler bila memungkinkan.

4. Bebaskan pakaian pasien dan perhiasan yang ketat.

5. Berikan terapi O2 sesuai pesanan dokter.

6. Pantau AGD

7. Siapkan untuk membantu intubasi ETT

Evaluasi :

1. Frekuensi napas dalam batas normal : 12-18 x/menit

2. Hasil pemeriksaan analisa gas darah dalam batas normal.

3. Tidak terjadi sianosis.

Diagnosa III.

Goal : Jalan napas bersih dan adekuat

Intervensi :

1. Pertahankan posisi jalan napas : melalui pengaturan posisi pasien yang tepat, pengisapan sekresi.

2. Pantau tanda vital terutama frekuensi pernapasan.

3. Beri O2

4. Motivasi pasien untuk mobilisasi semampu pasien.

5. Latihan batuk dan napas dalam

6. Lakukan fisioterapi dada.

7. Lakukan pengisapan lendir kalau diperlukan

8. Periksa AGD dan situasi O2.

9. Siapkan pasien untuk tindakan trakeostomi (kolaborasi dengan dokter).

Evaluasi :

Jalan napas klien efektif, bunyi napas, bersih, ditandai dengan :

1. Frekuensi napas dalam batas normal.

2. Jalan napas tetap paten dengan adanya cedera.

Diagnosa IV.

Goal : Integritas kulit utuh yang ditandai dengan tidak adanya kemerahan, iritasi, nyeri dan gatal.

Intervensi :

1. Kaji kerusakan integritas kulit.

2. Hindari pembalutan yang terlalu lama.

3. Gunakan kassa steril untuk pembalutan

4. Perawatan luka secara rutin dengan cara steril.

5. Kolaborasi dengan dokter tentang hasil laboratorium pemberian vitamin.

Evaluasi :

Kerusakan kulit mulai berkurang dan tidak meluas ditandai dengan tidak adanya kemerahan, iritasi, nyeri dan gatal.

Diagnosa V.

Goal : Klien akan tetap normotermix dengan suhu rectal 36-370C

Intervensi :

1. Pantau dan catat suhu rectal tiap 2-3 jam

2. Lakukan perawatan luka dengan cepat dan tepat.

3. Gunakan air untuk mandi dengan air hangat.

4. Gunakan selimut penghangat/lampu penghangat.

5. Jaga agar suhu ruangan tindakan tetap hangat

6. Balance cairan (intake-output) yang cermat

Evaluasi :

Pasien tidak mengalami hipotermi yang ditandai dengan :

1. Masukan dan keluaran cairan yang seimbang.

2. Suhu tubuh pasien tidak kurang dari 36-370C

Diagnosa VI.

Goal : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dan tidak terjadi penurunan berat badan

Intervensi :

1. Kaji kebiasaan makan sehari-hari/selera makan.

2. Dapatkan BB sebelum mengalami luka bakar

3. Timbang BB tiap hari kalau memungkinkan.

4. Catat masukan kalori pasien.

5. Berikan diet tinggi kalori dan tinggi protein.

6. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.

7. Lakukan oral hygiene setiap pergantian dinas.

8. Jadwal pengobatan tidak mengganggu waktu makan.

9. Beri istirahat yang cukup sebelum makan jika pasien baru saja mengalami prosedur pengobatan sebelum makan.

10. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan saat makan.

11. Beri dorongan pada keluarga untuk membawa makan tambahan dari rumah.

12. Kolaborasi dengan dokter untuk konsultasi gizi.

13. Laksanakan program dokter, metode lain untuk memenuhi kebutuhan kalori (pemberian melalui NGT, NPT, nutrisi parenteral total) vitamin.

Evaluasi :

1. Kebutuhan kalori dan pasien terpenuhi.

2. Pasien menghasbiskan makan yang diberikan sesuai program.

3. Berat badan dalam batas normal.

Diagnosa VII.

Goal : Rasa nyaman terpenuhi, nyeri berkurang.

Intervensi :

1. Kaji respon pasien terhadap nyeri saat perawatan luka, terapi fisik saat istirahat.

2. Gunakan skala nyeri untuk mengkaji tingkat nyeri pasien.

3. Observasi TTV

4. Gunakan teknik pengalihan perhatian untuk mengalihkan nyeri.

5. Berikan obat analgetik sebelum melakukan prosedur rawat luka yang menyakitkan.

6. Jelaskan semua prosedur pada pasien.

7. Ajak pasien berkomunikasi saat memberi perawatan luka atau prosedur lainnya.

8. Kaji kebutuhan akan obat nyeri.

9. Ciptakan lingkungan yang nyaman

10. Beri posisi tidur pasien yang nyaman sesuai keadaan pasien.

Evaluasi :

1. Tingkat nyeri akan menurun sejalan dengan penyembuhan luka (skala nyeri menurun).

2. Ekspresi wajah dan posisi tubuh rileks.

3. Tanda vital (pernapasan dan nadi) dalam batas normal.

Diagnosa VIII.

Goal : Tidak ada tanda infeksi, suhu tubuh dalam batas normal.

Intervensi :

1. Terapkan semua teknik aseptik pada semua askep keperawatan pasien (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, ganti sarung tangan untuk merawat luka yang berbeda).

2. Monitor atau kaji tanda-tanda klinis infeksi

3. Monitor perubahan warna pada luka, bau, proses penyembuhan yang lama perubahan tanda vital.

4. Monitor tanda-tanda sepsis (takikardia, tensi menurun, demam, sesak, bising usus, perdarahan, bau dari luka).

5. Observasi TTV terutama suhu rektal.

6. Jaga agar kulit tetap kering dan bersih.

7. Sebelum mengoles krim topikal bersihkan dan bilas luka terlebih dahulu.

8. Pertahankan lingkungan yang bersih :

§ Tempatkan pasien pada daerah yang tidak banyak orang

§ Jangan pergunakan rawat luka yang telah digunakan untuk pasien lama tanpa disterilkan terlebih dahulu.

§ Gunakan masker, sarung tangan steril-scort, penutup kepala saat merawat pasien.

§ Bersihkan ruangan pasien setiap hari.

9. Pertahankan personal hygiene pasien.

10. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian ATS, antibiotik, laboratorium.

Evaluasi :

1. Tidak ada tanda-tanda infeksi.

2. Suhu tubuh dalam keadaan normal.

3. Luka bersih dan kering

4. Hasil laboratorium dalam batas normal.

Diagnosa IX.

Goal : Tidak terjadi kontraktur

Intervensi :

1. Kaji tingkat kemampuan mobilisasi pada area luka bakar yang mempunyai kecenderungan untuk terjadi kontraktur.

2. Perhatikan posisi tubuh yang benar saat pasien istirahat (extremitas bawah tetap ekstensi, extremitas atas agak fleksi).

3. Latihan ROM tiap hari kurang lebih 5 menit setiap 2-4 jam

4. Konsultasi fisioterapi.

Evaluasi :

1. Pasien mobilisasi secara bertahap.

2. Pasien mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.

Diagnosa X.

Goal : Tidak terjadi perluasan luka bakar

Intervensi :

1. Cegah cedera tekan dengan memberi bantalan pada bagian yang menonjol.

2. Lepaskan pakaian atau perhiasan yang mengganggu atau ketat.

3. Tinggikan extremitas untuk menghindari edema.

4. Observasi extremitas atau kulit terhadap penurunan aliran darah.

5. Kaji tingkat nyeri saat melakukan ROM aktif.

Evaluasi :

1. Warna kulit tidak pucat dan kehitaman

2. Extremitas tidak edema.

Diagnosa XI.

Goal : Kecemasan berkurang

Intervensi :

1. Kaji tingkat kecemasan pasien dan keluarga.

2. Jalin hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga.

3. Dampingi pasien dan keluarga saat dibutuhkan]

4. Beri kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan.

5. Jelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan.

6. Berikan kesempatan pasien dan keluarga untuk konsultasi dengan dokter.

7. Beri masukan dari orang lain.

Evaluasi :

1. Kecemasan berkurang

2. Pasien dan keluarga dapat bekerja sama

3. Tidak gelisah, bisa istirahat

4. Anak tidak rewel.

Diagnosa XII.

Goal : Pengetahuan pasien bertambah

Intervensi :

1. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan luka bakar.

2. Beri kesempatan pada pasien dan keluarga untuk bertanya.

3. Libatkan keluarga dan pasien dalam perawatan.

4. Jelaskan pada keluarga dan pasien cara merawat luka bakar yang benar.

5. Anjurkan pada keluarga dan pasien untuk kembali ke dokter/RS bila ada tanda-tanda infeksi.

Evaluasi :

1. Pasien dan keluarga dapat menjelaskan/mengungkapkan tentang perawatan luka dirumah.

2. Pasien dan keluarga dapat merawat luka sendiri selama beberapa hari sebelum keluar dari rumah sakit atau pulang.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Christantie, S.Kp, “Perawatan Pasien Luka Bakar”, Editor, Yasmin Asih-Jakarta : EGC, 1999.

Smeltzer C. Suzanne and Bare G. Brande, Brunner and Suddarth’s, “Keperawatan Medikal Bedah”, Ed 8, Vol 3. jakarta : EGC, 2001.

Marlyn E. Doenges, dkk, “Rencana Asuhan Keperawatan”, Edisi 3 Jakarta, EGC, 1999.